PAJU GANDRUNG SEWU
Suatu
hari, empat orang sahabat yang bernama okmi, novi, icha, dan awil terlihat
sedang bercakap-cakap. Mereka sedang membicarakan Paju Gandrung Sewu yang akan
diadakan di pantai Boom Banyuwangi. Mereka sangat antusias membicarakanya. “eh,
hari Jumat tanggal 23 November 2013 akan diadakan paju gandrung sewu di pantai
Boom Banyuwangi, untuk memperingati Harjaba”, Awil memulai percakapan.
“Benarkah ?”, sahut Novi. “Ya, aku akan mengikuti paju gandrung tersebut”. Kata
awil. “Kamu hebat sekali, wil”, okmi pun turut menanggapi perkataan awil.
“Bagaimana kalau kita melihat paju gandrung tersebut?”, sahut icha. “Ya, aku
setuju, lagi pula kita bisa pergi bersama-sama, kalian bisa menemaniku menari
gandrung”, kata awil. Okmi pun menjawab,”boleh-boleh, itu pasti seru sekali”.
Akhirnya mereka pun sepakat untuk melihat Paju gandrung sewu di Pantai Boom
Banyuwangi. Dan mereka semua setuju untuk pergi ke sana dengan menaiki mobil
milik Awil.
Hari Jumat subuh icha
dan novi sudah berkumpul di rumah awil, hanya okmi saja yang belum datang.
Mereka semua membawa perlengkapan mereka masing-masing. Sambil menunggu okmi
datang, icha dan novi membantu awil mengemasi barang barang untuk perlengkapan
menari gandrung, karena awil akan mengikuti paju gandrung. “wil, perlengkapanmu
banyak sekali, apa ini nanti kamu pakai semuanya?”, kata novi. “Iya lah,
perlengkapan untuk menari gandrung itu kan banyak”, jawab awil.
“Ngomong-ngomong okmi mana ya, kok belum datang”, kata icha. “Sabar, nanti juga
datang. Tak berselang lama, okmi pun datang. Mereka semua langsung berangkat ke
pantai Boom dan diantar oleh ayah awil.
Sesampainya di sana,
mereka langsung turun dari mobil. Walaupun hari masih subuh suasana di sana
sudah sangat ramai.Mereka segera bergegas menuju ruang rias penari gandrung
untuk mengantarkan awil. Di ruang rias, ada banyak penari yang sudah berkumpul.
Dari penari anak-anak yang berumur 9 tahun sampai penari yang sudah berumur 71
tahun pun turut mengikuti paju gandrung sewu ini. Dari sekian banyak penari,
Awil adalah orang yang pertama yang dirias. Okmi, novi, dan icha memperhatikan
ketika awil dirias dan mereka ingin tahu apa saja bagian-bagian kostum yang
dipakai oleh awil. Karena penasaran, mereka bertanya kepada orang yang merias
awil, yang bernama bu Ely. Bu Ely adalah guru menari awil dan beliau juga
pandai merias penari.
Bu Ely, kira-kira apa
saja yang akan dipakai untuk menari Paju Gandrung sewu ini?”, kata okmi. Sambil
merias awil, Bu Ely menjawab, “Kostum yang dipakai untuk menari paju gandrung
ini terdiri dari beberapa bagian. Yang pertama bagian tubuh. Busana untuk tubuh
sendiri terdiri dari baju
yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas,
serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher
hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di
bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai
penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah
kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta
diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu
dikenakan di bahu.
Yang kedua bagian kepala, kepala dipasangi
hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang
disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh
Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta
menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini
tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung.
Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada
omprok hingga menjadi yang sekarang ini Selanjutnya pada mahkota tersebut
diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah
bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di
atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya
memberi kesan magis.
Yang ketiga bagian bawah,
pada bagian bawah Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak
bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri
khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan
belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum
tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade
tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.”
0 komentar:
Posting Komentar